Generasi Tanpa Warisan Part I


Sejak kecil saya selalu diwanti-wanti bahwa abah dan bundo tidak seperti tetangga-tetangga yang memiliki sawah dan lahan untuk bercocok tanam. Bundo hanya seorang guru ngaji dan abah traveller sejati. Haha. Iya, kerjanya lungo (pergi), jika ditanya mau kemana jawabannya selalu sama. “Golek duwet, dongakne”. Dan saya selalu mengiyakan. Tidak hanya saya, tapi kakak dan adek alias dua saudara perempuan saya.

Sebelum kami menikah, saya menjelaskan bahwa keluarga kami tidak memiliki apa-apa untuk dibawakan bekal di awal pernikahan. Hanya ilmu dan nasehat-nasehat yang tetap tertanam dan bisa dijadikan pedoman. Pun akak (suami), juga menjelaskan bahwa dirinya dan keluarganya tidak memiliki apa-apa untuk bisa digunakan bekal di awal pernikahan. Tidak ada rumah, kendaraan, barang-barang rumah tangga, dan tetek bengek lainnya. Hanya pakaian dan beberapa pundi uang hasil tabungan.

Setelah menikah, benar. Kami masih menumpang di rumah Mbak (kakak suami). Masih nomaden, kadang masih pulang ke rumah Abah. Kendaraan (sepeda motor) juga masih bergantian. Kami benar-benar menjalani kehidupan pernikahan mulai dari nol. Keinginan-keinginan yang sempat terbayang luluh lantah sudah. 

Kami berdua tidak diizinkan untuk mengontrak rumah, sebab masih ada tanggung jawab yang harus diemban oleh akak, beliau masih menjadi ketua IPNU di sini (Kecamatan Blimbingsari). Juga keadaan ibu mertua yang tinggal sendirian, maka kami masih harus menemani beliau. Keinginan untuk tinggal berdua pasca menikah masih harus tertunda, sebab kami tidak bisa menolak dan menghindar dari tanggung jawab yang sebentar lagi usai.

3 bulan umur pernikahan, kami memutuskan untuk merenovasi total rumah ibu. Dengan bondo nekat rumah benar-benar dibongkar. Dan beberapa ujian serta nyinyiran mulai kami dapatkan. Entah dari orang lain maupun keluarga sendiri. Dari sinilah kami juga mulai banyak belajar tentang kehidupan. Kebetulan biaya renovasi kami dapatkan dari sisa tabungan akak yang berasal dari Alm. Abahnya.

Rumah kami tak kunjung selesai dibangun, sampai akhirnya saya merasa tidak betah terus tinggal di rumah kakak ipar. Jika ditanya kenapa ? pastilah sebab kenyamanan. Saya termasuk anak yang dari kecil dilatih apa-apa harus sendiri, milik sendiri dan harus punya sendiri. Contoh kecil seperti buku atau baju, saya harus punya sendiri dan tidak meminjam. Walhasil sampai besar terbawa, saya jarang ke perpustakaan karena satu malas pinjam dan mengembalikan. Heuheu. Kalau ada uang lebih ya beli buku sendiri, meskipun belum tahu kapan mau baca. Skip. Sampai akhirnya kami memutuskan untuk mencari kost atau kontrakan di daerah kota, sebab jika dekat rumah akan menambah perkara. Alasan kami agar lebih dekat jika ada kegiatan, kebetulan memang kami waktu itu masih aktif dengan beberapa kegiatan komunitas yang lokasinya sering di kota.

Waktu itu saya belum bekerja, hanya menelateni jualan online yang penghasilannya juga nggak tentu. Akhirnya kami memutuskan untuk sewa kamar kost. Ada TV, almari, kamar mandi dalam, dan kipas angin. Lumayan lebih nyaman daripada numpang di rumah orang, begitu kira-kira batinku. Saya juga lebih mudah jalan-jalan bersama teman-teman. Wkwk

Akak masih dengan pekerjaannya, salah program Kementrian Sosial, PKH (Program Keluarga Harapan). Gajinya juga tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk berdua. Waktu itu kami juga belum memikirkan untuk memiliki keturunan, selain memang belum diberi amanah. Sepeda motor kami juga masih gantian dengan ibu mertua, kadang juga pinjam sepeda kantor PCNU Banyuwangi.

Sempat berfikir kenapa perjalanan kami terus begini dan belum ada perubahan, namun Akak selalu menasehati "Roda kehidupan niku terus berputar. Pun tho tenang, ada masanya kita nanti ada di atas. Sekarang memang masih di bawah. Legowo mawon."

Beruntungnya memang kami diberi rejeki lain, bukan berupa uang. Tapi berupa keluarga, teman, dan hati yang bisa terus senang meskipun nggak punya uang.

Kata Presiden Jancukers alias Mbah Sujiwo Tejo di bukunya
"Banyak orang pontang-panting mencari duwit tanpa tahu alamat duwit. Alamat duwit adalah Tuhan, kekasih.. Jalan kesananya cinta. Kendaraannya jiwa pasrah."

Kami tipe orang yang sukanya Piker Keri. Perkara hari ini ada uang cukup sehari, yasudah pakai saja tidak usah irit-irit. Besoknya bagaimana ? Ahh pasti ada rejeki. Entah jalannya pinjam atau didatangkan dari saku celana bekas dipakai entah kapan. Beruntungnya, alhamdulillah selalu ada ketika dibutuhkan. Tidak selalu berwujud uang. Toh rejeki bukan melulu materi. Ada saudara berkunjung bawakan makanan, tetangga lewat lalu senyum. Itu juga rejeki.

Kami memang generasi tanpa Warisan, tidak sepeserpun diberikan pada saya untuk bekal awal kehidupan pernikahan. Saya benar-benar keluar dari zona nyaman.

Kata teman-teman di komunitas, Lingkaran kemiskinan atau kekayaan akan terus berkutat sampai anak cucu nantinya. Yang miskin bisa kaya, karena ada faktor X alias "Bejo".

Ada juga yang tipe rejekinya "Ada pas lagi butuh". Jadi nggak pernah lebih, yang berlebih "Legowo Hatinya". Rejeki paling susah dicari. Heuheu


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mitos di Thailand

Marhaban yaa Ramadhan

Satu Tahun Pernikahan