Satu Tahun Pernikahan

Genap 365 hari kami bersama. Satu rumah, satu kamar, satu almari, satu kasur, satu handuk, satu kamar mandi.

Ada banyak peristiwa dan penuh pelajaran selama perjalanan pernikahan. Sebelum memutuskan untuk menikah, kami terus menata hati dan lalu sepakat. Iya, sepakat untuk bersama menjalin hubungan yang tak biasa. Menanggung beban bersama, menyelesaikan masalah bersama, sedih dan senang bersama, sampai marah bersama.

Sempat berfikir aku tidak akan siap hidup tanpa Abah, Ibuk. Tidak siap jika hidup tak akan se-enak ketika bermanja pada orangtua. Nyatanya yang aku fikirkan hanya bagaimana nanti aku bisa bahagia jika menikah dengan Akak. Bukan bagaimana aku bisa membahagiakan orangtua, suami, dan keluarga, pun juga aku. Bahagia yang bisa diraih bersama, bahagia yang datangnya bukan dari diri sendiri.

Waktu terus berjalan dan roda terus berputar. Banyak orang berfikir ketika menikah maka bahagia selalu saja. Banyak juga yang bilang, ahh jangan pikir yang enak-enak saja. Coba kita rubah pola fikir dan laku kita, datang bahagia sudah semestinya. Tapi nestapa sudah jadi bagiannya. Yang terpenting adalah bagaimana kita menghadapi dengan fikiran penuh dengan kebaikan. Bahagia biasa saja, bersedih pun tidak lupa hati tetap gembira.

Menikah ternyata juga bukan sekedar dengan pasangan kita. Tapi dengan orangtua, keluarga, tetangga, bahkan dengan lingkungannya. Tidak cukup hanya dengan hidup berdua, kita juga butuh yang lainnya. Bukan sekedar menghalalkan hubungan badan, bukan juga sekedar membagi tugas mencari nafkah ataupun tugas rumah tangga. Kami terus belajar untuk membedakan bagaimana memenuhi kebutuhan. Sehingga terus kami pelajari “ke-saling-an”. Saling membantu dan meringankan.

Banyak sekali mimpi kami berdua, yang ternyata sejalan dan bisa disandingkan. Kami beriringan meraihnya, yang pasti pelan-pelan. Jangan terburu-buru, katanya “terburu-buru itu sifat setan”. Yaa meskipun terkadang aku sering kesetanan, emmm maksudnya terburu-buru. Tidak sabar, maka terus nasehat diberikan agar “sabaar-sabaaar sayang”.

Segala sesuatu terus berusaha kami pelajari, terutama aku. Dalam kepercayaanku, perempuan adalah ladang. Maka kualitas diri harus terus menerus ditingkatkan. Sehingga patutlah aku bersyukur terus diberi kenikmatan untuk merasakan belajar. Meskipun saat ini belajarku berkurang, yahh lagi-lagi memang aku yang sedikit malas dan kesetanan. (Kasihan setan dari tadi disangkut pautkan)

Proses belajarku terus menerus berlanjut. Terutama ketika aku tahu, ketika Akak tahu. Bahwa budaya dan bahasa kami berbeda, Aku berbahasa jawa dan Akak berbahasa Madura. Lingkungan rumah Akak semua berbahasa Madura, inilah yang menjadi awal aku sedikit enggan berbaur dan bersosialisasi. Akak terus mengajak dan membujuk.

“ayo ten mbak ida, tumut berbaur tha. Mosok mboten nate srawung.”
Selalu aku menjawab dengan mudah dan sedikit tidak santai.
“enjeeh, adek lho biasane ten mbak ida nek akak medamel.”

Shock culture. Iya, apa yang aku pelajari di bangku kuliah sekarang terjadi, padaku. Adaptasi selalu menjadi hal yang yang sedikit aku takuti, tapi dulu. Sekarang ? sudah sedikit berkurang.

Katanya juga begini “mulut tetangga memang tidak ada habisnya”. Yaaa ternyata aku merasakannya. Iya, dengan salah dugaan. Kenapa salah ? sebab yang kita fikirkan adalah kata-kata di atas. Bukan baiknya kan ? sehingga Husnudzhon harus selalu diterapkan, meskipun sedikit sulit.

Sering juga salah faham dengan keluarga, terutama mertua. Ibu mertua, karena hanya satu-satunya. Memang berat bagi seorang istri yang mengetahui bahwa hukumnya begini. “Seorang anak lelaki akan tetap milik ibunya ketika sudah menikah, dan istri menjadi tanggung jawab suami.” Ternyata yang menjadi acuanku adalah rasa memiliki. Nyatanya, rasa memiliki malah membuat sakit hati. Seperti dawuh Abi Quraish Shihab “Cinta tidak bisa disandingkan dengan kepemilikan”.

Hari berjalan menjadi minggu, bulan, dan ternyata tahun. Prosesku, kami masih panjang. Aku yang masih terus belajar memasak enak, tidak manis atau hambar. Belajar untuk melayani dengan baik. Persiapkan baju, dan membuat kopi setiap pagi. Seperti pesan Abah

“Mengko nek wes rabi karo dani, seng rajin. Arep metu izin, klambi disetriko, gawekne kopi”.

Akak juga yang masih terus belajar memahami aku yang sulit. Iya, sangat sulit difahami apa maunya. Karena terkadang aku sendiri juga bingung apa mauku. Hmmm

Terakhir. But not least.
Konsep diri terus kupelajari. Terutama dalam menjadi seorang istri. Yang selalu terpatri sampai saat ini adalah bagaimana nasehat Akak agar selalu percaya bahwa “Barokah pasti ada”. Kami senang berkumpul dengan orang-orang baik, sholeh, dan alim. Setidaknya kami bisa mengambil keberkahan dari Allah melalui Kyai dan Ulama’ serta ‘Alim. Pemikiran agar menjadi yang berbeda, bukan yang terbaik. Sebab yang terbaik pasti banyak, namun yang berbeda hanya aku.
Juga, dalam kitab Mar’atus Sholihah

“Manahipun Maratus Sholihah iku mlumah, nadah, jejek lan rapet. Kangge nadahi ilmu lan nasehat, hasilipun kebak.”
Diumpamakan dengan ember yang diisi air, bahwa perempuan yang baik adalah yang mau menerima nasehat dan ilmu, sehingga mampu berdiri tegak dan akhlaqnya menjadi baik.



Mendampingi perjalanan Akak adalah tanggung jawab, mendoakan dan terus menemani. Bersama menjadi takdir yang berhasil kami perjuangkan. Menjalin ikatan yang terus tertiup ruh cinta dan sayang, menjadi bersenyawa.

Semacam lirik lagu Bersenyawa by Dengarkan Dia

Beruntung bisa bersama
Terikat, satu rasa
Kita mau dan tak malu, menyatakannya
Semestapun mendengarkan dan menjaganya
Kita tumbuh, dan Bersenyawa
Mendekap dan mendekat dalam jiwa
Bersamamu, tak mungkin keliru
Yang bahagiakan kita berdua, Sampai tua

Happy 1st Anniversary 💗

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mitos di Thailand

Marhaban yaa Ramadhan