Marhaban yaa Ramadhan

Tepat satu tahun yang lalu, saya mengalami perasaan paling sepi dan menyedihkan. Menyambut bulan Romadhon di Negeri orang, tanpa orang tua, dan pertama kali. Saya sudah terbiasa merantau, tapi entah waktu itu yang saya rasakan benar-benar sepi dan sendiri. Hal itu membuat saya berfikir macam-macam, segala fikiran negatif bermunculan.

Bermula dari keinginan untuk menyambut Ramadhan di pondok pesantren milik keluarga kepala sekolah. Namun ternyata terhalang oleh Mudzhir yang sedikit pelupa dan lumayan sibuk. Kebetulan saya kebagian tinggal di bekas rumah kepala sekolah, dan ternyata hanya sendiri. Di rumah selebar 10 x 6, dengan 2 kamar dan 1 kamar mandi, saya hanya sendiri, dan di Negara orang. Bukan Kota orang, atau Desa orang. Di situ saya dituntut mandiri, namun memang pengalaman pertama, sehingga saya mengalami culture shock.

Sepulang sekolah saya terus menanti Babo (panggilan untuk pengasuh sekolah, semacam Kyai). Berharap untuk bisa berkumpul dengan teman-teman Indonesia yang lain, karena mereka satu-satunya saudara (se tanah air) pada saat itu. Jam menunjukkan pukul 16.00, saya masih menanti sambil menghubungi semua orang yang ada di kontak WA. Lambat laun, waktu terus berjalan, hati saya semakin risau. Segala keluhan saya lontarkan, terutama pada kakak yang memang selalu saya gunakan untuk menumpahkan segala kegalauan. Akhirnya saya menangis, sendiri di kamar, di rumah. Menagis sejadi-jadinya sambil berdoa, "semoga tahun depan saya masih diberi kesempatan merasakan Romadhon bersama keluarga". Di tengah saya menangis, seketika ada pesan tertulis dengan bahasa ringan namun membuat saya tertegun dan berhenti menangis.

"Sampun, wangsul mawon nek ngoten. Ndangan diurusi sedanten."

Saya ingat, ini pilhan saya. Memilih untuk pergi dan menambah pengalaman baru. Inilah resiko dan konsekuensi yang harus ditanggung dan dijawab.

Benar-benar menjadi pengalaman yang sangat berharga. Dengan semua itu saya belajar bagaimana hidup dengan masyarakat berbeda, bahasa tidak sama, dan juga budaya yang jauh dengan Indonesia.

Semua kenangan di sana juga mengingatkan saya akan ketakutan. Selalu berdoa agar diberi keselamatan dan bisa kembali lagi ke Indonesia. Karena memang wilayah yang kami tempati sudah terkenal dengan garis merahnya. Terdapat teror di mana-mana, setiap malam terdengar suara letupan entah itu tembakan atau bom. Dan itu tidak jauh dari tempat tinggal saya.

Namun hari ini, ketakutan itu tidak hanya saya yang merasakan. Seluruh Bangsa Indonesia dhantui rasa was-was.

Semoga dengan datangnya bulan Suci Ramadhan, Allah memberikan hidayah untuk kita semua.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mitos di Thailand

Satu Tahun Pernikahan