Marhaban yaa Ramadhan

Tepat satu tahun yang lalu, saya mengalami perasaan paling sepi dan menyedihkan. Menyambut bulan Romadhon di Negeri orang, tanpa orang tua, dan pertama kali. Saya sudah terbiasa merantau, tapi entah waktu itu yang saya rasakan benar-benar sepi dan sendiri. Hal itu membuat saya berfikir macam-macam, segala fikiran negatif bermunculan. Bermula dari keinginan untuk menyambut Ramadhan di pondok pesantren milik keluarga kepala sekolah. Namun ternyata terhalang oleh Mudzhir yang sedikit pelupa dan lumayan sibuk. Kebetulan saya kebagian tinggal di bekas rumah kepala sekolah, dan ternyata hanya sendiri. Di rumah selebar 10 x 6, dengan 2 kamar dan 1 kamar mandi, saya hanya sendiri, dan di Negara orang. Bukan Kota orang, atau Desa orang. Di situ saya dituntut mandiri, namun memang pengalaman pertama, sehingga saya mengalami culture shock. Sepulang sekolah saya terus menanti Babo (panggilan untuk pengasuh sekolah, semacam Kyai). Berharap untuk bisa berkumpul dengan teman-teman Indonesia yang la...